Hubungan Keadilan dan Hukum
Membahas mengenai
esensi keadilan dalam implementasi hukum, tentunya akan sangat banyak aspek
yang akan dibahas dan saling berhubungan, karena setiap individu mempunyai cara
berpikir yang berbeda dalam menilai setiap keadilan terhadap suatu hal yang
sangat kecil sekalipun. Apabila dalam setiap waktu dan dimanapun manusia berada
menyatakan sepakat atas adanya eksistensi keadilan, maka sudah menjadi
keharusan jika keadilan tersebut mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam
hubungan dengan Tuhan, dengan sesama individu dan dengan alam. Sehingga
keadilan harus terwujud di setiap sisi kehidupan, karena sejatinya perilaku
yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang
berakibat kerusakan, baik pada diri manusia itu sendiri maupun alam semesta.
Meskipun keadilan
merupakan hal yang esensial bagi kehidupan manusia, namun ada kalanya keadilan
hanya menjadi bahan perdebatan panjang baik dikalangan akademisi maupun
praktisi yang kesehariannya berkecimpung dalam menangani perkara, sehingga secara
teori keadilan muncul hanya sebagai wacana perdebatan, diskusi-diskusi kaum
intelektual. Oleh karena itu, Keadilan harus diwujudkan melalui implementasi
bukan hanya oleh praktisi hukum melainkan oleh setiap individu, agar mampu
memaknai supremasi hukum, menghilangkan imparsialitas hukum dan tetap pada
entitas keadilan. Kaitannya dalam hal hubungan keadilan dan hukum, maka dapat
dikatakan hukum telah mati apabila keadilan hanya menjadi sebuah bayangan
abstrak tanpa adanya implementasi yang riil dan dalam keadaan seperti itu hukum
tidak lagi relevan bagi pencari keadilan (justitiabelen). Sehingga hal ini akan mengakibatkan masyarakat
sebagai objek atas pelaksanaan hukum tidak lagi dapat merasakan esensi keadilan
yang selalu dicita-citakan oleh para pencari keadilan tersebut, dimana mereka
justru mendapatkan ketidakadilan.
Pada dasarnya hukum dan
keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling berkaitan yang merupakan “conditio
sine qua non” bagi yang lainnya. Supremasi hukum yang selama ini
diidentikkan dengan kepastian hukum sehingga mengkultuskan undang-undang,
menjadi titik awal timbulnya masalah penegakan hukum. Pemikiran ini sebenarnya
tidak salah, namun bukan berarti menjadi kebenaran yang absolut. Peraturan perundang-undangan
memàng harus ditempatkan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan karena
merupakan manifestasi konsensus sosial (meskipun pada pelaksanaanya tidak
berlaku demikian). Namun sebagai masyarakat yang sadar hukum tidak boleh
menutup mata dan telinga bahwa konsensus tersebut adalah sebuah momentum sesaat
yang tidak mampu mengikuti arah gerak keadilan yang terus bergerak mengikuti
waktu dan ruang. Konsensus tersebut sifatnya hanya sementara dan bukan
permanen, sebab rasa keadilan akan bergerak cepat mengikuti setiap perkembangan
kehidupan manusia.
Berkaitan dengan perkembangan kehidupan manusia secara
otomatis akan muncul berbagai permasalahan atau perkara baru, oleh karenanya
hukum harus mampu untuk menyelesaikannya melalui perantara subjek hukum
(praktisi hukum), sehingga dapat dikatakan bahwa hukum sangat dinamis, tetapi
dinamika hukum seharusnya tidak menghambat pekerjaan karena tidak adanya
kepastian hukum. Pada pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan,
apabila terbentur pada pilihan keadilan atau kepastian hukum, maka hendaknya
lebih diutamakan memilih kepastian hukum. ”Tujuan hukum adalah untuk
menciptakan ketertiban melalui kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian
hukum dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sangat diperlukan”. Dalam hal ini bisa
di ilustrasikan sebagai berikut:
Mengapa
kita memilih kepastian hukum dibandingkan dengan keadilan. Apabila ada
peraturan ”menyeberang jalan harus di zebra
cross”, maka siapa pun harus menyeberang di zebra cross. Adult, handicapped, ibu-ibu tua, kakek-kakek
harus menyeberang di zebra cross.
Tapi bagi seorang bapak-bapak yang tinggal agak jauh dari zebra cross, ia memilih jaywalking,
jalan memotong karena menurutnya itu lebih adil, lebih efisien. Apabila 1 menit
terdapat 1000 kendaraan yang lewat, maka apabila dalam setiap menit tersebut
terdapat 10 kejadian jaywalking yang
dibiarkan tanpa ditilang, maka dampaknya akan besar. Banyak mobil yang mengerem
secara mendadak, chaos dan unpredictable. Risikonya sangat besar,
belum lagi adanya klaim asuransi, saling gugat di pengadilan, dan lain-lain.
Dampak dari kepastian hukum ini sangat besar”.
Salah satu tujuan hukum adalah mencapai keadilan dalam
melaksanakan tupoksi, kepastian hukum juga dilakukan dalam melaksanakan
tupoksi. Hukum hanya ada jika ada dua orang atau lebih ubi societas, ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).
Maka dalam cerita Robinson Crusoe, ia tidak perlu hukum. Hukum ada kalau ada
dua kepentingan, kepentingan kita sebagai regulator dan kepentingan stakeholder
sebagai penerima jasa. Sedangkan tujuan hukum lainnya adalah untuk mencapai
ketertiban dan keadilan, maka hukum harus diupayakan dapat efektif mengatur
hal-hal yang belum diatur dengan benar-benar memperhatikan asas hukum yang
melekat pada rencana peraturan tersebut. Hukum juga harus memperhatikan adanya
unsur efisiensi dalam pada saat pelaksanaannya dan mementingkan isi dan bukan
formalitasnya, substance over form.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa, ketika rasa keadilan ini benar-benar eksis dan
dirasakan oleh mayoritas kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju
rasa keadilan itu sendiri, kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri
sebab keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah. Hukum adalah
manifestasi eksternal keadilan dan keadilan adalah internal autentik dan esensi
hukum itu sendiri. Sehingga supremasi hukum (supremacy of law) adalah
supremasi keadilan (supremacy of justice) begitu pula sebaliknya,
keduanya adalah hal yang komutatif. Secara tidak langsung, setiap manusia dalam
semua perbuatannya akan selalu mengejar sesuatu yang baik (baik secara
subjektif maupun objektif), sesuatu yang dikejar atau dituju oleh kehidupan
manusia. Perbuatan manusia merupakan ekspresi dan bisikan dari dalam hatinya.
Seluruh sifat yang muncul dan hati akan terekspresikan anggota tubuh, sehingga
hati adalah pemegang kendali dan anggota tubuh tunduk kepadanya, Sehingga tidak
ada perbuatan yang dilakukan anggota tubuh kecuali atas tanda-tanda dan hati.
Jika hati suci, maka perbuatan akan baik. Perbuatan manusia akan bernilai jika
perbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dan bisikan hati yang suci,
sehingga dengan demikian nilai (value) merupakan suatu prinsip etik yang
bermutu tinggi dengan
pedoman bahwa keberadaan manusia itu harus memerhatikan kewajibannya untuk
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, individu lain dan bahkan terhadap
alam disekitarnya.